Punggung

Saat kamu berjalan di padang ilalang
sambil menggenggam tali sebuah balon
yang bergerak-gerak mengikuti arah angin,
bukan lagi gadis keras kepala yang kulihat.
Melainkan sesosok makhluk ringkih
yang mudah menggigil kala angin berhembus.

Seharusnya sejak dulu aku menyadari
bahwa tak cuma wajahmu yang berbicara.
Aku pun tak lagi membaca matamu.
Sebab punggungmu juga berbahasa.

Lihat halaman belakang rumah.
Ada rumpun mawar di sana.
Elok ketika bunganya mekar.
Tapi, siapa yang pernah melihat?
Halaman belakang rumah terletak di belakang rumah.
Dari depan terhalang bangunan rumah.
Tidak pernah dilihat orang.
Tak ada yang tahu keberadaan rumpun mawar yang rupawan itu
selain pemilik rumah sendiri.

Kamu pun seperti itu.
Semua orang tak pernah melepaskan pandangan mereka dari wajahmu.
Mereka mencari tahu isi hatimu melalui matamu.
Mereka mengenalmu sebagai sosok yang tak mudah dipengaruhi,
teguh pendirian, keras seperti batu.

Bukan itu yang kulihat melalui punggungmu.

Saat kamu berjalan ke arah barat menuju senja,
aku tahu kamu putus asa.
Kamu mengejar harapan yang sebentar lagi terbenam.
Lupa bahwa sebentar lagi pijar-pijar kecil yang berkilauan
akan muncul di angkasa.
Kamu melakukan apa yang semua orang lakukan.
Mengejar sesuatu yang besar dan mengabaikan hal-hal kecil.

Saat kamu berjalan sendirian
dengan kepala menunduk dan badan membungkuk,
ada satu bagian yang kerap hadir
tapi tak pernah kulihat baik-baik.

Punggungmu membuatku menyadari sesuatu.
Kamu juga manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.