5 Barang yang Tidak Lagi Saya Beli Sejak Mengenal Minimalisme

Belajar menjadi minimalis adalah sebuah perubahan gaya hidup yang cukup seru untuk dijalani, sekaligus juga berat. Perkaranya bukan hanya memiliki barang dengan jumlah sesedikit mungkin atau membatasi ukuran, warna, atau model pada barang. Tapi juga mengendalikan diri. Ya, apapun yang berlebihan tidaklah bagus. Milikilah secukupnya sesuai kebutuhan. Masalahnya, bagaimana caranya?

Secara teori, untuk menjadi seorang minimalis, seseorang harus tahu betul apa saja yang dia butuhkan dan bagaimana porsi cukup menurutnya. Sebab, setiap individu punya takaran dan kebutuhan yang berbeda. Setelah itu, singkirkan barang-barang atau hal-hal yang tidak perlu dan fokuslah pada apa-apa yang krusia.

Kita sering tidak bisa menolak pemberian orang lain, padahal belum tentu kita membutuhkan barang gratisan itu. Akibatnya, rumah kita pun jadi gudang. Di mana-mana ada barang pemberian orang. Terus terang, saya juga sering mati kutu kalau disodori hadiah. Terpaksalah saya terima sambil mikir-mikir, harus diapakan, dikemanakan?

Sama sulitnya dengan menahan diri untuk membeli barang baru. Kalau memang butuh tidak jadi masalah. Namun kalau untuk menambah koleksi, sepertinya harus dipikir-pikir ribuan kali ketimbang mubazir.

Saya punya pengalaman seperti ini berkali-kali. Biasanya, sih, karena saya membeli barang yang benar-benar baru, yang belum pernah saya punya sebelumnya. Coba-coba alias try and error gitulah. Efeknya, ya, itu, jadi numpuk barang di rumah karena yang saya beli ternyata tidak cocok atau banyak kekurangannya.

Tapi segini, nih, sudah banyak kemajuan. Saya nggak terlalu lapar mata. Kalau pengin beli sesuatu yang tidak terlalu mendesak, nabung dulu sambil menimbang-nimbang, beneran perlu atau sekadar kepengin?

Dan dari sekian banyak barang yang saya beli dulu, ini dia beberapa barang yang tidak lagi saya beli:

  1. Buku. Saya senang-senang saja beli buku. Tapi kalau setelah dibaca satu-dua kali, terus mau diapakan? Lebih baik beli atau baca versi ebook atau pinjam. Bahkan, buku Goodbye, Things tidak pernah saya beli. Saya baca ebooknya di Gramedia digital. Padahal buku tersebut adalah buku favorit saya dan sangat memengaruhi saya untuk menjadi minimalis. See, mencintai tidak harus memiliki, kan?
  2. Aksesori. Sejak kecil sampai lulus kuliah, saya penggemar aksesoris. Mulai dari jepit rambut, bando, anting, kalung, gelang, cincin, pin atau bros. Entah berapa rupiah saya habiskan untuk memuaskan minat saya. Kalau bosan, diberikan ke teman atau saudara. Sebelum mengenal minimalis, saya sudah menghentikan kebiasaan ini. Rasanya saya sudah tidak punya waktu, tenaga dan keinginan untuk merawatnya. Apalagi mengenakannya. Di lemari masih ada beberapa kalung dan bros (bukan emas, ya). Masih saya simpan karena belum tahu kepada siapa semua itu harus diberikan.
  3. Benda seni. Selain aksesoris, pigura termasuk daftar barang yang dulu saya suka. Sekarang saya tidak lagi membutuhkannya karena foto bisa disimpan di gawai. Tidak usah dicetak lagi. Selain itu juga saya tidak menerima barang seni lainnya walaupun gratisan. Saya lebih senang dinding yang polos dan meja yang kosong.
  4. Perabot dapur dan makan. Saya tidak pernah membeli perabot dapur karena almarhumah mertua saya punya banyak dan beliau sudah mewariskannya. Bukan barang-barang yang mewah, sih, tapi berguna seperti piring dan wajan. Jadi saya tidak perlu repot-repot beli ini-itu kecuali kalau ada yang rusak dan tidak bisa diperbaiki serta tidak ada cadangannya.
  5. Kosmetik. Pada dasarnya, saya tidak suka dandan. Paling cuma bedakan dan lipbalm. Sejak tinggal di Surabaya, tambah tidak suka. Rasanya percuma sudah poles-poles terus luntur karena keringat. Maklum, cuaca Surabaya panas banget. Dan sejak pandemi, karena separuh wajah tertutup masker, buat apa juga pakai bedak? Percaya atau tidak, bedak yang saya beli empat tahun silam belum habis sampai sekarang. Lipstik yang dibeli tujuh tahun lalu pun hampir habis karena dimain-mainin si kecil. Skincare? Kan, bisa pakai ampas kopi, teh, madu, atau jeruk nipis. Jadi, make up-nya yang no make up.

Itu semua barang-barang yang bisa saya hindari beli. Ada juga yang jarang beli seperti pakaian dan tas. Saya usahakan pakai yang ada sampai rusak dan tidak bisa diperbaiki. Bukan pelit, tapi karena saya tidak mau kebanyakan barang di rumah. Saya tidak suka beres-beres, sementara punya banyak barang memaksa saya untuk mengambil lap dan menghabiskan waktu untuk merawat semuanya. Belum lagi soal tanggung jawab. Untuk apa dibeli kalau tidak digunakan? Untuk apa punya banyak kalau yanh dipakai yang itu-itu saja?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.