memotret hujan

Berulang kali kucoba memotret hujan. Tapi hujan tak mau dipotret. Setiap kali melihat kameraku, ia panik. Hujan turun cepat-cepat, bersembunyi di pohon, masuk ke dalam tanah, mengalir di sungai hingga samudra. Aku tak mampu mengejarnya.

Sering aku memanggil hujan, berharap ia muncul di hadapan kameraku dan berpose bak model. Dasar sombong! Hujan selalu menghindar. Dipanggilnya kilat dan petir agar aku tak mengganggunya.

Aku tak berani berbuat nekat. Kulari masuk rumah dan membiarkan hujan bermain-main di alam bersama angin.

Aku baru bisa memotret hujan ketika ia berbaring kelelahan di atas tanah. Hujan tak berkutik. Ia tak berdaya menampik kameraku. Sinar hangat matahari menguapkan keangkuhannya.

Namun, ah, hujan jadi tampak kurang estetis dengan pose seperti itu. Lain kali, aku harus memotretnya lagi

Nol

Nol lahir tanpa ujung dan sudut. Tidak ada awal dan sulit menentukan di mana ia berakhir. Nol tidak menghadirkan perhentian maupun persinggahan. Nol adalah siklus, repetisi. Mungkin karena sifat repetitifnya itu, tidak ada lagi nilai yang bisa kita lihat. Pengulangan mengundang kejenuhan. Dan kejenuhan adalah pangkal ketidakpedulian.

Nol adalah suaka. Ia membatasi apa yang di luar dan di dalam. Namun di balik sifat melindunginya, nol juga identik dengan hampa. Kosong. Kita selalu mengucapkan “kosong” untuk nol saat menyebutkan nomor telepon. Seolah-olah nol tidak ada artinya selain untuk membedakan nomor yang satu dengan yang lain.

Padahal kalau digandeng di belakang sebuah angka, nol bisa memberi nilai lebih. Semakin banyak nol mengikuti, semakin besar nilai sebuah angka.

Apa arti nol buatmu?