Akhirnya berakhir juga bulan Ramadhan tahun ini. Ini adalah pertama kalinya saya puasa setelah tinggal di Surabaya. Tahun lalu saya tidak ikut puasa karena sedang hamil trimester tiga. Sedang lemes-lemesnya, selalu haus setengah mampus. Tahun ini, karena Kiara sudah berumur sembilan bulan, saya pun berpuasa.
Awalnya sempat ragu, bagaimana kalau saya puasa saat masih berstatus ibu menyusui seperti sekarang? ASI memang akan tetap keluar selama Kiara masih mengisapnya. Prinsip ASI kan jika sering disedot, stoknya tidak akan pernah habis, melainkan akan terus diproduksi. Kualitasnya juga sama seperti biasa kalau saya tidak puasa. Yang diragukan adalah kondisi fisik.Mengurus anak, apalagi kalau anaknya seperti Kiara yang lincah bukan main, bisa membakar banyak kalori. Dan selama menyusui, tubuh juga kehilangan cairan. Kadarnya saya tidak tahu, tapi setelah menyusui, saya merasa cukup lelah dan kehausan. Jadi kalau puasa, bisa-bisa saya kelelahan.
Tapi akhirnya saya coba juga berpuasa. Apalagi suami juga mendukung. Namun kalau terjadi hal-hal yang tidak bagus, baik pada Kiara maupun saya, saya boleh berbuka. Ternyata, saya bisa puasa. Badan memang lelah, tapi lelahnya seperti lazimnya orang berpuasa. Lemas-lemas wajar, seperti itu. Haus dan lapar, pasti. Apalagi kalau habis menyusui. Tapi saya terus bertahan sampai beduk magrib dan ternyata saya mampu menjalankan ibadah puasa. Padahal, saya makan biasa saja. Tidak mentang-mentang saya menyusui lantas menunya diistimewakan.
Satu, dua, tiga, tujuh, sepuluh, lima belas hari bergulir. Saya masih tetap puasa. Tapi, selama seminggu Kiara makan hanya sedikit. Bahkan dalam sehari tidak makan sama sekali. Sudah begitu, dia mencret. Saya tadinya tidak begitu khawatir. Namun lama-lama jadi merasa kasihan juga walaupun KIara tetap lincah seperti biasa. Sampai akhirnya lewat seminggu Kiara masih mengalami kejadian ini, berbekal naluri keibuan, saya pun tidak puasa sampai Kiara sembuh. Tidak enak juga tidak puasa, seperti halnya zaman dulu waktu saya masih menstruasi. Tapi, apa lagi yang bisa saya lakukan pada anak yang hidupnya sangat bergantung pada ASI, seperti ketika Kiara masih berumur di bawah enam bulan?
Tanpa bermaksud sombong ataupun riya, berpuasa saat sedang menyusui begini bagi saya merupakan sebuah prestasi. Di lingkungan keluarga saya di Cicalengka, juga di lingkungan keluarga suami di Surabaya ini, biasanya ibu hamil dan menyusui tidak puasa. Namun saya nekat puasa. Tidak sebulan penuh; ada bolongnya. Tapi saya justru lebih banyak puasanya ketimbang tidak puasa. Abaikan dulu mencretnya Kiara; selama saya puasa, anak ini sehat-sehat saja. Ini berarti, benar bahwa selama kondisi ibu dan anak baik-baik saja, puasa pun dibolehkan. Selalu ada kekhawatiran, kalau ibu hamil puasa, nanti janinnya kekurangan nutrisi. Tapi buktinya, beberapa bumil yang berpuasa ada dalam keadaan sehat wal afiat. Begitu juga dengan janinnya. Sama halnya dengan ibu menyusui. Ada anggapan, kalau busui puasa, anaknya nanti kekurangan nutrisi. Atau yang lebih parah, ASI-nya tidak keluar. Buktinya, saya masih bisa tetap menyusui Kiara kok.
Tapi jangan gegabah juga. Ada baiknya bumil maupun busui berkonsultasi dulu dengan dokter jika ingin puasa. Selain itu, keyakinan pun harus dipatuhi. Dokter membolehkan saya puasa saat saya sedang hamil. Tetapi karena saya tidak yakin kondisi saya bakalan tetap fit kalau puasa, dan kasihan banget dengan si utun yang kenaikan berat badannya tidak bombastis, akhirnya saya memutuskan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan fidyah. Karena kalau dipaksakan membayar utang dengan puasa lagi, khawatir si kecil masih sangat membutuhkan ASI.
Jadi kalau teman-teman sedang hamil atau menyusui ingin berpuasa, apalagi kalau usia kandungannya berada pada trimester kedua atau bayinya berusia lebih dari enam bulan, sah-sah saja kok. Cuma pesan saya, lihat dan sadar kondisi, serta lebih baik lagi konsultasi dulu dengan dokter sebelum menjalankannya. Kalau semua oke, puasa pun tidak masalah. Kalau ada yang tidak beres, sekecil apa pun, apalagi kalau itu membuat ragu, tidak usah memaksakan diri puasa daripada terjadi sesuatu yang lebih gawat.
Dan yang lebih penting lagi, masalah fisik sebetulnya bisa diatasi. Lemas karena lapar atau haus, itu lumrah. Yang perlu dipikirkan adalah emosi. Anak rewel, minta digendong terus dan jalan-jalan keluar, nakal dan susah dibilangin, hal-hal semacam itu menurut saya lebih mengganggu ketimbang haus dan lapar. Saya juga kemarin tidak lepas dari gangguan semacam itu setiap hari. Badan lemas, ngantuk, Kiara minta digendong keluar rumah. Ditaruh di stroller, harus jalan-jalan, tidak bisa didudukkan dan diajak bercanda tok walaupun sudah ada di halaman. Belum lagi gusinya gatal karena tumbuh gigi, hingga berkali-kali menggigit sewaktu menyusu. Repot, pokoknya. Yah, namanya juga bayi. Mana tahu ibunya puasa atau tidak biarpun sudah diberi tahu 😛