Seperti yang saya katakan di tulisan sebelumnya, bahwa saya ingin bercerita tentang proses menyapih Kiara. Akhirnya, kesampaian juga cerita itu ditulis. Sengaja saya menunggu waktu sampai beberapa hari untuk meyakinkan bahwa Kiara benar-benar tidak menyusu lagi.
Saya pernah berpikir, menyapih Kiara bakalan sangat sulit dilakukan. Pasalnya, Kiara ini mafia nenen sekali. Sejak bayi sampai usianya dua tahun kurang dua minggu, dia adalah penggila nenen. Sebentar-sebentar bilang, “nenen… lagi.”
Kalau Kiara menyusu karena betulan lapar atau haus sih tidak apa-apa. Masalahnya, Kiara menyusu juga untuk meminta perlindungan, takut sesuatu, kaget, dan adanya kejadian-kejadian lain yang mengganggu perasaan atau pikirannya. Belum lagi kalau dia sedang ingin bermanja-manja sama ibunya ini.
Dan karena saya selalu bersama-sama dia 24 jam setiap harinya, jadinya Kiara merasa keenakan. Kapan saja dia mau nenen, saya selalu siap. Kebayang kan susahnya saat menyapih Kiara? Saya bakal harus mendengarnya rewel siang malam karena minta nenen tapi tidak saya kasih.
Sekalipun begitu, saya enggan menyapih Kiara dengan cara-cara tradisional. Misalnya dengan mengoleskan batrawali yang pahit banget itu. Anak-anak zaman sekarang pinter-pinter. Kalau saya pakai cara begitu, selain tidak bagus buat psikologi si anak, juga nggak bakalan mempan. Jadi saya gunakan metode weaning with love alias menyapih dengan kasih. Repot-repot deh, yang penting cara ini alami.
Dua minggu menjelang ultahnya yang kedua, saya mulai mengurangi jatah nenen Kiara. Sebisa mungkin dari bangun pagi sampai tidur malam, Kiara tidak saya susui. Menyusuinya cukup malam saja saat dia terjaga dari tidurnya. Kalau mood Kiara sedang bagus, tidak sedang mengantuk, perhatiannya bisa dialihkan. Kalau dia minta nenen, saya kasih dia camilan kesukaannya atau mengajaknya bermain di luar.
Namun giliran Kiara kangen banget sama nenen atau ngantuk banget tapi tidak bisa tidur kalau tidak menyusu dulu, ini dia… Saya harus mati-matian menolak permintaan Kiara yang satu ini. “Nggak boleh nenen, kan udah gede,” atau “nenennya dipegang aja ya,” adalah dua kalimat yang sering saya ucapkan sebagai penolakan. Tapi namanya juga batita ya, Kiara tidak bisa langsung menerima tampikan tersebut. Dia tetap ingin menyusu.
Saya pun setengah memaksa dia untuk berbaring hadap-hadapan dengan saya dan kembali mengatakan kalau nenennya hanya boleh dipegang. Pada akhirnya, mungkin karena sudah tidak berdaya akibat ngantuk, Kiara luluh. Dia hanya memegang payudara saya dan tidak lama kemudian tidur.
Saya tidak hanya merasa lelah karena bersikeras untuk tidak menyusui Kiara sekaligus mencoba memberinya pengertian, tetapi juga sedih karena seakan saya tega kepada anak sendiri. Bagi Kiara, menyusui bukan semata memuaskan rasa lapar atau haus, tetapi juga semacam bercengkrama. Di mana dia merasa nyaman, aman, tenang, senang, dan terutama sekali: dekat dengan saya.
Seharusnya, orang tua memberikan apa yang dibutuhkan anaknya. Tapi pada kenyataannya, dengan dalih demi kebaikan si anak, tidak semua hal bisa diberikan. Termasuk menyusui. Memang tidak ada larangan menyusui sampai anak berumur dua tahun lebih. Baik dari segi psikologi anak, kesehatan, maupun agama. Saya sendiri, jujur saja, tidak berkeberatan menyusui Kiara sampai dia mencapai 2,5 tahun.
Lantas, kenapa saya menyapih Kiara saat dia dua tahun?
Pertama, saya ingin Kiara bisa membedakan kapan dia merasa benar-benar ingin menyusu dan kapan dia hanya ingin bermanja-manja pada saya. Selama ini kan Kiara menyusu kapan saja dia mau, dan itu belum tentu Kiara menyusu. Kadang dia hanya ngempeng. Jadi, dengan membatasi waktu menyusui, Kiara jadi punya momen kangen nenen. Dan dia jadi bisa menyusui dengan benar.
Kedua, sekadar mengikuti anjuran untuk menyusui selama dua tahun. Kalau saat atau setelah disapih Kiara rewel terus, saya juga tidak memaksa untuk meneruskan program menyapihnya. Kalau Kiara merengek terus minta nenen, ya saya berikan. Tapi kalau dia tidak meminta, saya juga tidak menawarkan. Don’t refuse, don’t offer. Begitu rumusnya.
Jadi, acara menyapih yang saya lakukan ini sebetulnya untung-untungan. Kalau Kiara bisa mengerti dan berhenti nenen tepat di ultahnya yang kedua, ya bagus. Tapi kalau dia belum mengerti, ya saya mengalah.
Nah, selama tiga hari pertama menyapih, saya lebay banget. Melihat Kiara tertidur setelah merengek minta nenen, saya bukannya bangga atau senang karena Kiara bisa tidur tanpa “benda kesayangannya”. Saya malah menangis. Sedih karena tidak bisa memberikan sesuatu yang selama ini Kiara anggap hartanya yang paling berharga. Dari menyusu, Kiara bisa tumbuh. Bahkan saat dia sedang malas makan, menyusu adalah satu-satunya cara supaya perutnya bisa terisi. Dari menyusu pula, Kiara mendapatkan kenyamanan. Berada dalam pangkuan dan dekapan saya bagi Kiara seperti mendapatkan tempat terbaik di dunia ini.
Saya tidak mengada-ada. Tapi semua anak pasti merasakan seperti itu. Coba ya kalau mereka bisa mengungkapkan perasaan mereka. Para ibu pasti bakalan trenyuh dan maju-mundur untuk menyapih anaknya. Hehehe.
Jadi, tidak hanya Kiara yang disapih. Saya selaku emaknya juga disapih. Saya tidak boleh takluk pada tangisan Kiara yang meminta nenen. Menyapih itu, ternyata, juga mengajarkan sang ibu supaya bisa membiarkan anaknya belajar mandiri. Selepas menyusui, diharapkan anak bisa menghadapi apapun yang terjadi pada dirinya tanpa bergantung sekali pada sang ibu. Misalnya, kalau Kiara suka menyusu saat sedang gelisah, setelah tidak nenen lagi diharapkan dia bisa mengatasi kegelisahannya dengan cara selain menyusu. Bisa dengan bermain, tidur, atau hal-hal lain yang bisa membuat dia senang dan tenang.
Selama satu minggu, saya izinkan Kiara menyusu pada siang hari tapi dengan jeda waktu yang lama. Misalnya pada saat banggun tidur pagi, bangun tidur siang, dan malam hari kalau terjaga. Tiga hari pertama, mungkin karena masih dalam masa penyesuaian, Kiara masih sulit diajak kompromi. Minggu berikutnya, baru deh Kiara hanya menyusu pada malam hari. Karena terbiasa menyusui siang malam, jadinya menyusui pada malam hari ini merupakan momen yang saya kangeni. Apalagi ketika melihat Kiara menyusu dengan lahap seolah dia lapar atau haus banget.
Tepat di usianya yang kedua, Kiara tidak menyusu lagi. Semula saya pikir, bakalan susah menyapih Kiara pada malam hari. Soalnya dia kan dalam kondisi kesadaran yang belum stabil, antara bangun dan masih mengantuk, atau mimpi buruk. Tapi saya coba tidak menyusui Kiara, hanya memangku sambil membiarkannya memegang payudara saya.
Kiara tidak meminta nenen. Bahkan dengan cara yang amat simpel seperti itu dia bisa tidur lagi.
Semudah itu menyapih Kiara! Saya sendiri kadang tidak mempercayainya.
Sebagai gantinya, Kiara jadi banyak minum air putih. Apalagi cuaca Surabaya sedang panas-panasnya. Terus kalau sedang kangen dengan nenen, Kiara biasanya minta memegang payudara saya. Begitu juga kalau mau tidur. Biasanya saya beri fasilitas ekstra, yakni pijat punggung.
Tinggal saya yang kadang-kadang bengong. Kok bisa ya Kiara mudah mengerti? Dan kenapa dia hanya tertawa tatkala saya tolak permintaan nenennya, bukannya marah atau rewel?
Tapi saya senang dan lega. Tugas saya sebagai ibu menyusui sudah selesai. Namun tugas lain menanti. Saya tetap jadi koki dan pelayan. Bahkan kali ini tugasnya lebih berat karena saya harus menyediakan makanan pengganti ASI yang banyak nutrisinya buat Kiara. Jangan sampai selepas menyusu, Kiara jadi kurus.
Yah, tugas seorang ibu tidak pernah selesai. Bahkan setelah anaknya punya kehidupan sendiri.