Ketika Enggan Meninggalkan Rumah

Rumah adalah tempat hati kita ditanam dan tumbuh. Kita mungkin pergi ke berbagai daerah atau benua. Tapi suatu saat, kita pasti ingin dan akan kembali ke rumah. Bahkan bagi orang-orang yang sangat mencintai rumah mereka, mereka enggan meninggalkan rumah yang sudah mereka bangun dan tempati bersama orang-orang tercinta.

Sudah nonton Up dan La petite maison en cubes?

Dalam Up, sepeninggal istrinya Carl kesepian. Tapi dia tidak berniat menjual rumahnya dan pindah ke lain kota. Bahkan ketika di samping kanan dan kirinya dibangun gedung-gedung bertingkat dan lingkungan huninya tidak lagi nyaman, Carl bersikeras tetap tinggal di sana. Hingga suatu hari tercetus ide untuk mewujudkan cita-cita Ellie, yakni memiliki rumah di Paradise Falls.

Carl tidak pergi begitu saja, tentunya. Kebetulan ia penjual balon. Jadi, ditiupnya banyak sekali balon sehingga rumahnya terangkat dari tanah. Sambil membawa rumah itulah Carl menuju tempat yang dimaksud sang istri, di mana dia akan menempatkan rumah kenangan tersebut.

Sedangkan dalam La petite maison en cubes, ceritanya serupa tapi tak sama. Tokohnya sama, seorang laki-laki tua yang hidup sendiri sepeninggal istrinya. Dia tinggal di sebuah ruangan multifungsi (sebagai ruang tidur, ruang makan, dapur) semacam apartemen. Pada musim hujan, daerah tempatnya tinggal terendam banjir. Laki-laki itu tidak mengungsi. Ia malah membeli bahan-bahan bangunan dan membangun rumah lagi di atasnya.

Pada suatu hari ketika sedang berperahu, cangklongnya jatuh ke dalam air. Si kakek mencarinya. Dari lantai paling atas atau rumah yang baru, si kakek membuka pintu lantai. Ia menyelam ke dalamnya. Ada ruangan yang lama. Di sana dia tidak menemukan cangklongnya. Karena itu si kakek membuka penutup lantai lagi dan ia masuk ke ruangan sebelumnya ketika istrinya terbaring sakit.

Rupanya selain karena cangklongnya belum ditemukan, si kakek juga ingin bernostalgia. Dia membuka pintu lantai lagi dan masuk ke ruangan di bawahnya ketika anaknya menikah. Masuk lagi ke ruang sebelumnya ketika anaknya masih kecil. Dan… sampailah si kakek ke ruangan bawah, ketika ia dan istrinya memutuskan untuk menikah.

Ternyata, setiap tingkatan dalam rumah itu mewakili masa demi masa dalam kehidupan sang laki-laki tua. Si kakek sangat setia dengan rumahnya. Ia tidak memilih mengungsi ke tempat lain seperti halnya para penduduk di wilayah itu, meskipun banjir selalu datang setiap tahunnya. Alih-alih meninggalkan rumah kenangan, si kakek memilih menghindari banjir dengan terus menambah jumlah tingkat bangunannya.

Sebuah kesetiaan yang patut diacungi jempol. Karena biasanya orang kalau rumahnya kena musibah atau tidak nyaman ditinggali lagi, mereka memilih meninggalkan rumah itu. Saya sendiri ketika memutuskan untuk menikah, yang berarti saya harus ikut suami dan meninggalkan rumah orang tua saya yang saya tempati sejak kecil, sampai menangis berhari-hari. Kendati saya bisa pulang ke sana sewaktu-waktu, namun berat sekali rasanya harus meninggalkan rumah, sebab setiap ruang, setiap sudut, setiap kotak ubin lantai memiliki banyak cerita. Padahal sekarang pun saya sedang “membangun” rumah bersama suami saya.

Rumah mampu melahirkan perasaan sentimentil terhadap pemiliknya.

9 komentar pada “Ketika Enggan Meninggalkan Rumah

  1. Saat ini saya musti meninggalkan rumah yang dikontrak oleh orang tua saya selama 30 tahun (sejak saya belum lahir loh!) Berat sekali rasanya. Seperti kata embak, sampai ubinnya aja memiliki sebuah cerita. Semoga rumah baru keluarga kami akan bisa menghapus kerinduan saya terhadap rumah kontrakan ini.

  2. Ping-balik: Mudik | rie yanti

  3. Emang berat rasanya meninggal kan rumah yang sudah lama di tempati tapi demi menuntut ilmu saya berusaha untuk menahan rasa berat saya toh akhirnya saya akan pulang. Lagi ke rumah saya iya toh????

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.