Cerita dari Blora

Ini bukan review Cerita dari Blora-nya Pramoedya Ananta Toer, melainkan cerita tentang liburan kami bertiga di Blora akhir bulan kemarin. Ketika suami saya merencanakan liburan ini, awalnya saya bingung, memang di Blora ada apa selain sate dan soto? Bahkan setelah saya amati, Blora lebih sepi dari Cicalengka.

Tapi demi Gua Terawang, berangkatlah kami bertiga ke kota tersebut. Dari Surabaya kami nyarter mobil bersama keluarga suami saya. Tujuan pertamanya ke pernikahan sepupu di Bojonegoro. Setelah itu, kami bertiga memisahkan diri untuk naik bus ke Blora.

Biasanya, acara bepergian selalu menyenangkan buat Kiara. Dia tidak pernah rewel atau sakit diajak ke mana pun. Cuma, mungkin karena hari itu dia tidak enak badan, sudah begitu sarapannya sedikit sekali, menuju Bojonegoro Kiara mabuk. Waduh!

Tapi dalam perjalanan menuju Blora, Kiara kembali fit. Syukurlah. Soalnya kami harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh menggunakan bus. Apalagi jalannya tidak begitu bagus dan kami harus ikut “melompat” ataupun ngebut bersama bus yang kami tumpangi. Tapi Kiara tidak merasakan itu semua karena dia tidur pulas dan baru bangun ketika kami mau sampai di terminal Cepu.

Ya, untuk ke Blora dari Surabaya atau Bojonegoro, kami harus dua kali naik bus. Dari Cepu, kami menumpang minibus. Karena sudah sore, minibus itu penuh. Kebanyakan penumpangnya para pekerja. Semula saya tidak mengerti, memangnya di Blora ada industri apa. Setelah menempuh perjalanan beberapa kilometer, akhirnya saya tahu, jalan menuju Blora dari Cepu didominasi hutan jati.

Sore-sore melewati hutan jati membuat saya agak takut. Apalagi ini tempat yang baru saya kunjungi. Tapi tidak sampai dua jam kami sampai juga di Blora. Walaupun itu hari Minggu sore, tidak ada keramaian apapun di sana.

Kok sepi ya?

Mungkin, itulah Blora. Bahkan malam hari pun suasananya tetap sepi. Keraguan saya terbukti. Dan feeling saya, liburan kali ini tidak akan mengesankan seperti liburan kami ke Semarang tahun lalu. Namun, selama ada Kiara dengan segala tingkah lakunya yang membuat saya dan suami kewalahan serta ocehannya yang bikin gemas, rasa sepi pun tidak mampu hadir lama-lama.

Tapi tetap saja kami ingin menyibak rahasia yang disembunyikan kota kelahiran Pramoedya Ananta Toer ini. Jadi Minggu malam itu kami jalan-jalan di sekitar hotel. Tidak ada hal menarik yang kami temukan.

Keesokan harinya, kami berangkat ke Gua Terawang. Semula kami akan menumpang bus sesuai saran dari dinas pariwisata setempat. Tapi suami saya ragu, sehingga dia akhirnya memilih nyarter mobil.

Ternyata, pilihan suami saya tidak keliru. Jarak dari kota Blora menuju Gua Terawang sangat jauh. Awalnya jalan raya biasa. Namun berikutnya, kami masuk daerah pedesaan yang rada terpencil. Ada rumah-rumah penduduk, sekolah, jalannya juga aspal meski dengan kualitas yang tidak bagus. Tetapi, situasinya yang sangat sepi membuat saya khawatir, kalau sampai mobilnya kehabisan bensin, matilah kami.

Sebab kami tidak bisa kembali ke hotel secepat yang kami mau. Tidak ada SPBU dan toko. Yang ada hanya sawah, ladang, perkampungan. Bahkan bus seperti yang dikatakan dinas pariwisata pun lewat jarang-jarang. Dan meski di sini ada pabrik gula, tetap saja itu tidak membuat kami tenang karena lokasinya yang jauh dari keramaian. Belum lagi saat ini masih musim hujan. Dan kami membawa anak kecil. Kebayang kan kalau kami menumpang bus?

Diperlukan waktu sejam lebih dari kota untuk sampai di Gua Terawang. Gua ini berlokasi di tengah hutan jati. Untuk memasukinya kami cukup bayar 5000 per orang. Plus 5000 untuk kendaraan (padahal di karcisnya tertera 2000).

Yang membedakan Gua Terawang dengan gua lain adalah, gua ini memiliki beberapa lubang cukup besar di atasnya sehingga bisa membuat air hujan jatuh ke dalam gua. Sayang tidak ada guide yang bisa menjelaskan tempat ini. Bahkan sepertinya tidak ada penjelasan mengenai asal-usul gua tersebut.

Atau kami harus bertanya kepada kera-kera yang menyambut kami di depan gua? Hehehe. Di sini memang ada banyak kera. Mereka jinak dan tidak berani mengganggu pengunjung.

Karena ada tetesan air dari atas, “lantai” gua yang berbatu dan bertanah jadi licin. Saya terpeleset. Untung tidak sampai jatuh. Sebetulnya sih, Gua Terawang tidak begitu gelap berkat lubang-lubang di atasnya yang juga membiarkan sinar matahari masuk ke dalamnya. Namun di bagian ujung, karena tidak ada lubang, keadaan jadi gelap. Jadi, kalau mau masuk gua ini, tetap siapkan senter dan alas kaki antiselip.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari Gua Terawang. Karena memang itulah adanya. Terpencil, tak banyak disentuh (tapi ada beberapa coretan di dindingnya). Padahal gua ini cukup indah dengan stalaktit dan stalakmitnya.

Kami berada di sini tidak sampai dua jam. Masih ada situs wisata yang menjadi destinasi kami, yakni museum Mahameru. Lokasinya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Ditempuh dengan jalan kaki pun bisa. Tapi karena kami sudah nyarter kendaraan plus supirnya, ya sekalian saja kami ke sana pakai mobil.

Tapi keberuntungan tidak berpihak pada kami. Museumnya tutup. Ya sudah, kami makan sate Blora saja. Enak lho! Penyajiannya pun unik. Sate dan nasinya dibungkus menggunakan daun jati. Mengingatkan saya akan nasi jamblang di Cirebon. Cuma, porsi nasinya kurang. Padahal di Blora ini banyak sawah. Sedang musim panen pula. Apa kaminya yang terlampau kelaparan ya? 😀

Di Blora terdapat beberapa waduk. Beberapa hari sebelum berangkat, saya dan suami berencana mengunjungi salah satu waduk tersebut. Tapi karena sepulang dari Gua Terawang kami terlampau lelah dan hujan keburu turun, rencana itu dibatalkan deh.

Saya sendiri sebetulnya ingin segera pulang ke Surabaya. Blora yang sepi membuat saya merasa tidak karuan. Mau jalan-jalan ke mana pun rasanya males banget. Bahkan Senin malamnya kami hanya keluar hotel untuk membeli makan. Selasa pagi, pulang.

Selesai sudah petualangan kami. Kendati tidak begitu menyenangkan, kami berharap apa yang kami dapatkan kelak ada gunanya bagi kami. Terutama buat Kiara. Mungkin dia tidak akan ingat. Tapi setidaknya kami sudah mengenalkannya pada suasana lain di luar hiruk pikuk Surabaya. Supaya dia tidak terbiasa hanya dengan satu tempat tertentu saja. Dan supaya Kiara bisa fleksibel dan cepat beradaptasi di mana saja dia berada kelak.

5 komentar pada “Cerita dari Blora

  1. Siip banget…

    Wah, boleh juga tuh ide wisatanya yang Brahm di luar mainstream. Sejak dulu, saya ingin berpetualang keiling Indonesia, minimal Jawa Timur. Karena saya tahu setiap kota pasti punya keunikan masing-masing seperti Blora itu. Kalau tidak ke sana, maka kita tahu keunikan tersebut?

    Selamat deh atas liburannya. Ditunggu cerita wisata lainnya.

  2. Aku sebetulnya males ke tempat-tempat yg nggak atau kurang dikenal kayak Blora itu. Krn nggak paham bener kondisi tempatnya, jadi banyak khawatir. Apalagi aku kan bawa anak kecil. Takut kenapa2 di jalan, di tempat tujuan, terus nggak ada fasilitas yang bisa membantu.

  3. Jika ada lembaga menyelenggarakan kompetisi utk kategori ”KOTA SEPI” maka Kota Blora akan masuk nominasi dan dipastikan mendapatkan certificate of ”MAMPRING CITY AWARD”.

    Maaf itu bukan menghina tetapi sbg pelecut dan cambuk utk warga Blora dan para pemangku kebijakan disana.

    Mbok yow sadar bahwa potensi blora itu melimpah dari SDA maupun tata letaknya, kalo itu dikelola secara optimal maka bisa mengangkat Blora dan keluar dari stigma yg telah mengakar selama ini yaitu Blora identik sbg kota jalur mati dan sepi, Kalian mau mengelak namun FAKTAlah yg berbicara.

    Dari SDA blora punya Hutan jati yg kualitasnya nomor wahid di indonesia bahkan mungkin di dunia, Migas yg melimpah sejak era klloni belanda. Dan orang-orang hebatpun tdk sedikit yg lahir dari Blora.

    Kemudian secara geografis bahwa blora itu sangat menguntungkan, kalo kita cermat sebenaranya jalan utama Semarang-Surabaya jarak tempuhnya lebih pendek lewat Blora ketimbang Pantura. Namun lagi-lagi karena faktor kualitas maka kegiatan lalu lintas lebih memilih Pantura. Bisa dibayangkan seandainya Jalan penghubung Surabaya-Semarang melalui blora maka wuuuiiiiihhhhhh dampaknya jelas yaitu wilayahnya ramai, ekonomi lebih hidup seperti rumah makan, SPBU bahkan pabrik juga bisa jadi.

    Terus sarana Transportasi sebenarnya sangat potensial dgn adanya Rel ganda, diblora bisa mengusulkan dibangunnya Dry Port(pelabuhan darat) atau Pergudangan.

    Wis opo jare Mblora wae, lek’e duwe isin ambek kiwo tengene(Pati, Rembang, Tuban, Bojonegoro, Ngawi) cepet tangio, ojok turu wae…….gak ngono ta cak…….!!!!!!

  4. bener kandane mbol zulex Blora emang banyak potensinya namun kurang dikembangkan,,,

    Untuk jalan penghubung yg arah purwodadi sudah mulai di perbaiki sedikit demi sedikit
    Semoga Blora bisa segera menyusul ketertinggalannya 🙂

  5. Blora tidak begitu dikenal karena pembangunanya di berbagai bidang mengalami stag, kalo di urai sumbangsih blora utk devisa negara sangat luar biasa yakni hasil hutan dan melimpahnya minyak dan gas bumi, namun imbal balik dr negara utk blora itu sangat kecil, tidak berbanding lurus dgn kekayaan blora yg di kontribusikan utk negara(terjadi ketidakadilan).

    Sebenarnya permintaan blora itu tdk muluk2, cukup jalan antara perbatasan Grobogan sampe cepu dibangun yg berkualitas bagus serta dilebarkan rasanya sudah cukup, karena jika hal tsb terwujud maka dgn sendirinya perputaran ekonomi akan bergerak lebih cepat, itu sudah pasti.

    Akan tetapi selama ini jalan yg di anakemaskan selalu pantura, blora kurang perhatian dr para pengambil kebijakan.

    Blora-blora….. Cek’e ngenes koen

Tinggalkan Balasan ke Rie Yanti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.