Bukan Hanya untuk Diri Sendiri

Tanaman mawar di belakang rumah. Wanginya tercium hanya dari jarak yang sangat dekat. Dari jarak jauh, ia hanya memberikan sebuah pemandangan cantik dengan mahkota bunganya yang berwarna merah jambu. Kadang hanya lima. Tidak jarang, lebih dari sepuluh.

Potret itu begitu melekat di kepala saya. Dulu, setiap hari saya melihatnya dari balik kaca jendela kamar, kalau saya sedang malas keluar rumah. Jauh sebelum saya menikah, tanaman mawar itu memberikan inspirasi sebuah cerita. Sekarang, pada saat saya sedang kerepotan dengan pekerjaan dan pengalaman baru sebagai calon ibu, tanaman mawar itu memberikan sebuah pelajaran.

Membaca status teman saya di Facebook. Dia seorang istri, ibu dua anak, dan pemilik butik di rumahnya. Teman saya itu bilang kalau dia ingin jalan-jalan, belanja, dan melakukan kegiatan lain yang membutuhkan kebebasan dalam menjalankannya. Sayangnya, dia tidak bisa mewujudkan keinginannya itu. Anak keduanya masih kecil dan, kita semua tahu, menjadi seorang istri dan ibu membuat seorang perempuan tidak memiliki kebebasan seperti halnya ketika dia masih lajang. Di status lain, seorang teman saya yang baru saja punya momongan berseloroh, mendingan jadi perawan supaya bisa bebas ke sana kemari. Sebab sekarang, dia merasa “terikat”.

Saya yang sebentar lagi akan melahirkan jadi berpikir, seberat itu ya jadi seorang istri dan ibu? Saya tahu, saya tidak akan sebebas dulu ketika masih lajang. Pernikahan memberi saya beberapa tugas yang kalau tidak saya jalankan akan membuat saya merasa bersalah: melayani suami dan mematuhinya. Kalau dulu di Bandung saya bebas jalan-jalan sendirian ke mana saja, sekarang di Surabaya saya tidak bisa seperti itu. Selain karena saya belum hapal-hapal banget kota Surabaya ini, suami juga khawatir kalau saya jalan sendirian. Enaknya, saya punya teman jalan. Ke mana-mana ada yang mengantar. Tidak enaknya, kalau suami sedang tidak mood atau terburu-buru, saya jadi tidak leluasa cuci mata.

Tidak hanya itu. Karena mau punya anak, mau tidak mau saya harus bekerja keras. Suami punya penghasilan tetap, tapi saya pun tidak mau hanya mengandalkan urusan finansial pada suami. Apalagi saya juga merasa mampu berusaha dan hasilnya bukan hanya untuk menambah saldo tabungan sendiri. Melainkan tabungan bersama, terutama untuk kebutuhan anak kami kelak.

Sekarang saya tidak bisa lagi berleha-leha. Kalau ada kerjaan, saya harus mengerjakannya sebaik dan secepat mungkin, berhubung klien juga selalu menginginkan permintaannya segera dipenuhi. Supaya kerjaan bisa cepat selesai, selain harus menggarapnya dengan cepat, saya pun harus mengerjakan tugas-tugas saya lain, dalam hal ini tugas-tugas rumah tangga, dengan cepat.

Saya tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Apalagi sekarang saya sedang hamil tua. Selain rasa cemas karena akan menghadapi persalinan, saya pun harus menghadapi berbagai keluhan yang, meski tidak parah, tetap terasa berat. Pertama, gerah. Setiap hari, rasanya keringat tidak habis-habisnya keluar dari tubuh saya. Diam saja sudah membuat saya kegerahan, apalagi banyak bergerak atau berpikir. Penyebabnya entah karena cuacanya yang panas (padahal di Bandung sudah hujan), entah karena saya sedang hamil tua sehingga produksi keringat di dalam tubuh jadi berlebih. Kedua, pegal. Tidak hanya di bahu atau kaki, tetapi juga selangkangan. Bobot bayi bertambah besar. Posisinya sudah di bawah pula. Otomatis itu menambah beban buat saya. Ketiga, sesak. Ini kerap memaksa saya untuk membatasi makan. Kalau tidak, perut akan terasa sangat kencang. Kalau sudah begini, duduk pun tidak lagi nyaman. Berbaring lebih enak, tapi saya selalu mengalami kesulitan ketika bangun.

Dengan banyaknya pekerjaan dan keluhan itu, jujur saya tersiksa. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental. Di satu sisi, bekerja saat hamil mampu membuat saya tidak terlalu memikirkan proses persalinan nanti. Pikiran saya jadi teralihkan. Di sisi lain, saya kehilangan waktu untuk diri sendiri. Satu-satunya yang tersisa adalah waktu tidur. Tapi itu pun saya lakukan bukan lantaran kesenangan. Saya tidur lebih karena lelah.

Setiap hari, kalau tidak disibukkan dengan pekerjaan, saya harus melakukan berbagai hal remeh yang tidak bisa saya abaikan. Apalagi yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Saat sibuk pun harus bisa menyempatkan diri. Untuk olahraga, menyiapkan perlengkapan bayi serta barang bawaan untuk ke rumah sakit kalau sudah waktunya melahirkan nanti, merawat tubuh seperti merawat payudara sebagai persiapan menyusui, mencari informasi tentang persalinan dan bayi. Semuanya tampak sepele. Tapi percayalah, saya cukup kewalahan menyelipkan semua itu ke dalam agenda saya. Kalau ada yang lupa, saya merasa bersalah dan cemas.

Saya dilema. Saya senang karena si kecil yang saya kandung selama sembilan bulan ini akan lahir. Saya juga senang, rezeki buat si kecil selalu ada dan semakin banyak orang menaruh kepercayaan terhadap usaha saya dan suami. Tapi saya juga tidak bisa menyangkal kalau saya lelah. Saya sering kangen dengan masa lalu. Masa ketika saya sendirian. Masa ketika saya mendapatkan keleluasaan bergerak. Masa ketika saya tidak dibebani berbagai tugas dan tanggung jawab.

Dasar manusia, saya selalu saja mengeluh, terutama pada suami. Dan tanggapan yang saya dapatkan darinya adalah, “Kalau musim panas, jangan mengeluh kepanasan. Kalau musim hujan, nikmati tetesannya.”

Barangkali benar kata suami saya. Semua ada waktunya. Sudah cukup waktu saya untuk merasakan kebebasan sendiri dan melakukan segala sesuatu hanya untuk diri sendiri. Hidup saya sudah lain. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga suami dan anak. Memang ada rasa tidak nyaman dan tidak bebas. Tapi pada akhirnya, saya akan bahagia juga.

Apa yang dikatakan suami saya seolah digambarkan jelas oleh tanaman mawar itu. Saat musim kemarau, ia dengan sabar menunggu datangnya musim hujan. Saat musim hujan, ia tidak mengeluhkan kucuran air yang tidak berbilang jumlahnya. Ia tidak pernah mati. Kalau dipangkas pun tanaman mawar ini tetap bisa tumbuh. Seolah tahu, ia tumbuh bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dan ia terlihat bahagia dengan kehidupannya itu.

2 komentar pada “Bukan Hanya untuk Diri Sendiri

  1. Hmm… banyak hal yang tidak bisa saya lakukan setelah berkeluarga. Padahal dulu sudah jadi hobi dan selalu saya jalankan rutin. Namun saya tidak pernah mengeluh,… dalam arti mengenang masa dulu.

    Saya optimalkan dan manfaatkan apa yang sudah ada. Misal: dulu saya hobi nontion bioskop, sekarang tidak bisa lagi. Selain berpikir ribuan kali menggunakan uang untuk pribadi, waktu juga tidak ada. Caranya kalau filmnya cocok dan ada dana, saya bisa nonton bareng dengan Zidan. Menonton dengan anak laki rasanya lebih keren dibanding dulu waktu bujang, bahkan dengan istri. Hehehe.

    Atau terpaksa menontonnya di rumah. Di komputer. Setelah semuanya pada tidur, dimana ada wakru tersisa untuk pribadi, saya nonton. Ternyata hobi menonton malah tidak hilang setelah menikah. Dulu paling seminggu maksimal nonton 2 film di bioskop. Sekarang bisa 5 kali seminggu. Tapi yang unik nontonnya bisa dicicil. Sekarang belum selesai, karena ngantuk ya dilanjutkan besoknya. Seperto nonton ‘The Amazing Spiderman’ yang saya nonton sampai 3 hari. Hehehe.

  2. Kalo yg awal2 menikah atau punya anak, pasti rasanya lain, Pak. Walaupun udah tau kalo udah nikah atau punya anak tugasnya bertambah & bahkan tdk punya waktu utk diri sendiri, tetap aja pd prakteknya agak susah diterima. Nggak heran kalo perempuan yg baru punya anak kena sindrom baby blues. Soalnya punya anak emang sedikit repot. Waktu tidur jadi kacau, harus cepat2 mengerjakan pekerjaan lain selama bayi tidur, bbrp kegiatan jd tdk bisa dilakukan, dsb.

    Tp pada akhirnya semua itu membuat bahagia jg. Apalagi kalo lihat anak tumbuh sehat, suami terurus & rumah terawat. Cuma pengorbanannya ya seperti yg kubilang itu. Dan suami harus bisa mengerti kehidupan baru istrinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.