Bermain atau Belajar?

Meski sudah berumur tiga tahun lebih, Kiara belum sekolah. Karena beberapa alasan, saya dan suami sengaja menunda menyekolahkan Kiara. Untuk saat ini, Kiara “sekolah” di rumah saja. “Sekolah” di sini bukan maksudnya belajar calistung ya, karena anak di bawah umur tujuh tahun belum boleh diajari calistung. “Sekolah” yang saya maksud adalah PAUD.

Sebagai gantinya, Kiara boleh bermain sepuasnya. Yah, tidak sepuasnya juga sih. Bagaimanapun, Kiara harus belajar disiplin dan tahu waktu. Misalnya, habis sarapan dan mandi, ikut saya memasak. Kalau saya sudah selesai memasak, Kiara boleh bermain apa saja. Bisa menggambar atau masak-masakan. Waktunya makan siang, ya makan siang. Begitu juga kalau waktunya tidur dan mandi sore. Yang jelas sih, karena Kiara nempel sama saya terus, jadinya dia suka ikut kegiatan saya. Bahkan kalau saya mencuci pun dia ikut nyuci.

Hm, memangnya boleh ya melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga?

Awalnya saya ragu. Takutnya nanti Kiara malah memainkan kompor atau deterjen. Tapi, justru dengan terlibat pada beberapa pekerjaan rumah tangga, anak bisa bermain sekaligus belajar. Pernah dengar metode Montessori kan? Itu tuh metode pengajaran anak yang membiarkan si anak mengeksplor sendiri dunia sekitarnya. Dengan cara seperti itu, si anak juga dibiarkan mandiri.

Sebelum mengetahui metode Montessori ini, saya pernah dengar kalau sebaiknya anak jangan kebanyakan dilarang karena nanti dia tidak akan pintar. Contohnya, waktu Kiara masih 10 bulanan, saya suapi dia makan bubur. Eh, pas saya tinggal ngobrol sama mertua, Kiara mengambil mangkoknya dan mulailah dia mengacak-acak buburnya. Ada yang dibuang, ada juga yang dimakan sendiri. Sekalian menerapkan metode BLW juga, supaya kemampuan motorik Kiara terasah. Walau seringnya Kiara saya suapi supaya makannya bener.

Tapi saya nggak manjain Kiara terus dengan menyuapinya makan. Untuk makanan tertentu saya biarkan Kiara makan sendiri. Bahkan untuk minum pun saya ajari dia minum langsung dari gelas. Minum pakai sendok? Waktu awal-awal diberi MPASI saja.

Selain itu, saya berusaha ngasih contoh kegiatan yang bagus. Kadang-kadang saya malah tidak sengaja ngasih contoh. Misalnya saja menyimpan sandal di rak sehabis bepergian. Lama-lama Kiara mengerti kalau habis pergi, sepatunya harus disimpan di rak sepatu. Begitu juga dengan memasukkan baju kotor ke dalam ember. Dengan senang hati Kiara melakukan hal ini sehabis mandi.

Terus, karena Kiara suka ikut juga ke kamar mandi, saya pikir ini kesempatan emas buat dia. Saya sikat gigi di hadapan Kiara. Hasilnya? Kiara tidak pernah malas sikat gigi. Terutama habis sarapan dan sebelum tidur malam. Bahkan kalau saya lupa menyuruhnya sikat gigi, Kiara suka nagih. Malah sekarang dia suka menyikat giginya sendiri.

Belum lagi kalau saya cuci piring. Tadinya saya suka menyuruh Kiara menunggu saya selesai mengerjakan tugas ini sambil duduk atau bermain sendiri. Tapi kemudian dia suka nyamperin dan meminta sendok-garpu yang saya sudah saya cuci untuk disimpan di tempat sendok. Saya turuti maunya. Benar, Kiara menyimpan sendok-garpu bersih itu di tempatnya. Malah kadang tanpa disuruh Kiara menyimpan sendok-garpu yang sudah kering ke ruang makan.

Semua itu belum seberapa. Kiara bisa membereskan sepatu dan sandal yang berserakan. Dia cari pasangannya kemudian ditata di lantai atau rak sepatu. Kiara juga suka membantu ngambil bumbu kalau saya memasak, memetik sayur, dan mencuci piring. Yang terakhir ini sebetulnya alasan saja, karena sebetulnya Kiara ingin main air. Hehehe.

Kadang-kadang, Kiara juga ikut belanja ke pasar.

Kesannya saya pemalas karena membiarkan anak belajar melakukan pekerjaan rumah seperti di atas. Tapi nggak lho. Soalnya saya tahu, piring yang dicuci Kiara tidak bersih. Namanya juga hasil kerja anak kecil. Jadi saya harus mencucinya ulang. Bahkan, dengan membiarkan anak “bekerja” seperti itu, kerjaan saya jadi bertambah. Selain harus mencuci atau membereskan ulang, juga harus mengganti baju Kiara yang basah atau kotor.

Selain itu, saya harus memilah juga, mana barang yang aman buat Kiara, dan mana yang tidak. Sebelum Kiara terjun ke tempat cuci piring, saya harus menyingkirkan dulu pisau dan piring atau gelas berbahan beling. Jadi yang Kiara cuci adalah barang-barang dari plastik. Sabunnya juga kalau bisa disingkirkan dulu, atau paling tidak dikurangi. Khawatir kulit Kiara belum siap bersentuhan dengan bahan-bahan kimia yang tidak diformulasikan untuk kulit sensitifnya.

Semua kegiatan itu, bagi Kiara mungkin adalah permainan. Sebab bermain adalah kegiatan yang dilakukan dengan senang hati dan membuat si pelaku senang. Tetapi secara tidak langsung dan disadari si anak, permainan seperti itu juga menjadi kegiatan belajar. Ya belajar fokus dan teliti, mengelompokkan sesuatu (memisahkan sendok dan garpu), atau belajar bertanggung jawab (membereskan mainan, menyimpan sepatu di rak, memasukkan baju kotor ke dalam ember).

Mungkin teman-teman ada yang berpikir, semua kegiatan itu hanya berlaku untuk anak perempuan. Anak laki-laki mana mau dan kayaknya nggak lucu kalau diajari mencuci piring.

Saya tahu, anak laki-laki dan perempuan itu beda. Anak laki-laki cenderung bandel dan suka menolak kalau disuruh mengerjakan tugas rumah. Tapi sepengamatan saya, ada lho anak cewek yang pemalas. Ada juga anak cowok yang nurut sama ibunya sampai-sampai dia suka ikut mengerjakan tugas-tugas rumah. Kemudian, ada anak perempuan yang ogah jagain adiknya. Padahal biasanya anak perempuan suka bermain boneka dan telaten menjaga adik. Sebaliknya, ada anak laki-laki yang sangat peduli terhadap adiknya biarpun mereka sama-sama laki-laki. Biasanya kan anak laki-laki suka cuek terhadap saudaranya sendiri, terutama yang masih kecil.

Menurut saya, hal itu bukan karena jender. Anak laki-laki maupun perempuan bisa kok dilatih jadi anak yang baik. Tergantung orang tuanya juga sih. Kalau ortu memberikan contoh yang baik, bukan mustahil anaknya juga jadi baik. Jadi orang tua itu tidak mudah. Sialnya lagi, tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Yang ada hanyalah sejuta teori parenting yang seringnya susah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Atau mungkin, kalau anaknya pemalas, itu karena orang tua males repot. Saya akui sih, saya juga sering melarang Kiara menyentuh ini-itu, berbuat ini-itu, yang sebetulnya tidak apa-apa. Tapi, kalau dipikir-pikir, apa susahnya sih berkorban demi kebaikan anak? Kecuali kalau tempatnya berbahaya, misalnya tempat cuci piring rawan licin. Daripada si anak terpeleset, mendingan larang dia berada di sana.

Yah, sebagai orang tua, kita pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak kita. Tinggal dipilih saja, mana yang baik dan mana yang tidak.

2 komentar pada “Bermain atau Belajar?

Tinggalkan Balasan ke Rie Yanti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.